Kisah pilu seorang guru - Usianya masih terbilang muda. Tapi semangat yang berkobar dalam diri untuk memberikan manfaat bagi masyarakat tertinggal di negeri ini tidak diragukan lagi. Hendrolisa (25), adalah pemuda tangguh yang mengikhlaskan dirinya untuk mengajar anak-anak Indonesia di pedalaman Kalimantan Barat. Predikat lulusan sebuah universitas ternama di Indonesia ini sudah hampir satu tahun menjadi guru di sebuah SD, jauh di pedalaman Kalimantan Barat, dekat dengan perbatasan Indonesia-Malaysia. SD Sentabeng nama sekolah itu. Hanya memiliki 60 siswa dengan enam kelas, dan fasilitas yang serba minim. Di wilayah itu, listrik dari pemerintah pun belum masuk.
Begitupun dengan Hermilton (51), guru SD Tumbang Anoi di Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, pedalaman Kalimantan Tengah. Hermilton yang berasal dari luar Kalimantan Tengah ini sudah lama mengajar di SD Tumbang Anoi. Di kampung itu, Hermilton harus tinggal di sebuah rumah dinas tua dan berbagi dengan tujuh guru lainnya.
Meskipun keadaan begitu getir dijalani, mengajar anak-anak negeri di pedalaman sudah menjadi pilihan bagi Hendro dan Hermilton. Meraih kemuliaan hidup melalui pengorbanan dan pengabdian yang belum tentu mampu dijalani semua orang. Sayangnya, pengabdian yang diberikan mereka tidak sesuai dengan penghargaan dan kesejahteraan yang semestinya diterima dari negara.
Jangan tanya berapa gaji yang diterima Hendro dan Hermilton setiap bulannya untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup di wilayah yang serba terbatas dan terpencil itu. Apalagi dengan tangungan keluarga yang menjadi tanggung jawab mereka.
Kisah Hendro dan Hermilton hanyalah sedikit cerita pilu dari ribuan kisah para pahlawan tanpa tanda jasa di pelosok negeri. Terutama mereka yang mewakafkan diri dan tenaga untuk mengabdi, mengajar anakbangsa di daerah-daerah tertinggal, pedalaman dan perbatasan. Di wilayah lain dari negara kepulauan ini, masih banyak Hendro dan Hermilton lain yang berjuang untuk mencerdaskan mutiara-mutiara bangsa di tengah kegetiran hidup. Bertahan di antara idealisme pengabdian dan realitas keterbatasan.
Cerita pilu guru Hendro dan Hermilton bukan lagi cerita baru di Indonesia. Kesejahteraan tenaga pendidik dan pengajar di Indonesia memang sudah menjadi persoalan klasik dunia pendidikan yang ada sejak negara berpenduduk 240 juta jiwa ini berdiri. Belum lagi jika kita berbicara tentang persoalan dunia pendidikan lainnya, seperti infrastuktur pendidikan, kualitas guru hingga kuantitas atau kebutuhan guru yang juga masih menjadi masalah serius dan pekerjaan rumah kita bersama.
Meskipun pemerintah sudah berupaya melakukan banyak perbaikan dalam dunia pendidikan di Tanah Air, seperti pemenuhan alokasi anggaran 20 persen untuk pendidikan dari APBN, pengangkatan guru-guru honorer menjadi CPNS secara bertahap, penaikan gaji guru, sertifikasi guru agar mendapatkan tunjangan, dan pemberian beasiswa terhadap guru, tapi bukan berarti semua permasalahan guru di negeri ini tuntas begitu saja. Berbagai perbaikan tersebut mungkin hanya dirasakan oleh mereka yang terjangkau, atau berada di kota-kota besar dan wilayah yang padat penduduk. Bagaimana dengan para guru di wilayah tertinggal, terpencil, dan terluar? Kebijakan-kebijakan itu tidak dirasakan oleh mereka karena keterbatasan akses informasi.
Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saat ini jumlah guru di Indonesia mencapai 2,7 juta. Dari jumlah tersebut, 1,5 juta (57,4%) di antaranya belum berkualifikasi sarjana (Sl). Dari jumlah itu pun, sebagian besar terkonsentrasi di Jawa, Sumatera, dan kota-kota besar. Tidak banyak guru yang menyentuh daerah-daerah tertinggal, terluar dan terdepan Indonesia (3T). Sebagai con-toh, Provinsi Papua masih memerlukan sediktnya 500 guru. Di pelosok-pelosok hutan Kalimantan bahkan banyak ditemukan SD atau SMP yang hanya1 memiliki 3-4 orang guru saja.
Rencana pemerintah untuk melakukan penyebaran guru secara merata hingga ke pelosok menjadi kebijakan yang sangat positif. Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Dr Sulistyo menyebutkan, terjadi kelebihan 500 ribu guru di wilayah-wilayah padat penduduk, terutama Jawa dan Sumatera. Sementara situasi yang terbalik justru terjadi di daerah pedalaman.
Kesenjangan fasilitas dan kesejahteraan antara kota dan pelosok menjadi salah satu faktor utama keengganan para pahlawan ini untuk mencurahkan pengabdian mereka di daerah-daerah tertinggal. Selama ini terkesan masih ada diksriminasi perhatian pemerintah terhadap guru yang mengabdi di kota dengan mereka yang mengabdi di daerah tertinggal atau pedalaman. Memberikan perhatian yang lebih besar terhadap peran dan pengabdian guru-guru di daerah pedalaman adalah solusi yang paling baik.
Hari Guru Nasional yang jatuh setiap 25 November harus dijadikan momentum bagi pemangku kebijakan untuk melihat kembali persoalan dunia pendidikan nasional saat ini, terutama kesejahteraan dan fasilitas bagi ribuan guru yang mengabdi di pedalaman dan daerah tertinggal. Perhatian yang lebih besar dalam bentuk peningkatan kesejahteraan dan fasilitas sangat diperlukan bagi mereka agar keberlangsungan mendidik mutiara-mutiara bangsa di wilayah terpencil tetap dapat bertahan. Mereka adalah pahlawan sebagaimana para pengabdi bangsa ini yang lainnya. Mereka adalah ujung tombak kebangkitan negeri dari pedalaman. Di tangan mereka masa depan anak negeri di pedalaman dibebankan. Semoga Hari Guru Nasional ke-66 tahun ini memberikan optimisme baru bagi masa depan guru, khususnya mereka yang berkiprah di pedalaman untuk merengkuh kesejahteraan yang lebih baik.
Membangun Bangsa dari Pedalaman
Sudah tersedia juga Modul Ajar Kurikulum Merdeka untuk SMP dan SMA yang bisa Anda pesan, dengan pengiriman bisa via email atau WhatsApp
Tags
:
Kisah dan Cerita
Related : Membangun Bangsa dari Pedalaman
RPP-Silabus.Com menyediakan:
Modul Ajar Kurikulum Merdeka Lengkap dengan ATP, KKTP, CP dll
Modul Ajar Kurikulum Merdeka telah tersedia untuk Anda para pengajar yang membutuhkan. untuk keperluan mengajar ataupun untuk memenuhi kelen...